Profil Masyarakat Miskin

Kabupaten Bengkayang

1.Latar Belakang

Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat, merupakan wilayah dengan luas 5.382,74 km² dan jumlah penduduk pada pertengahan 2024 mencapai 303.422 jiwa, dengan komposisi 157.364 laki-laki dan 146.058 perempuan. Mayoritas penduduk adalah etnis Dayak, diikuti oleh etnis Melayu, Tionghoa, dan pendatang dari Jawa. Kabupaten ini memiliki tantangan dalam mengatasi kemiskinan, terutama di wilayah pedesaan dan pegunungan, yang didominasi oleh sektor pertanian sebagai sumber ekonomi utama.

2.Data Kemiskinan (Bengkayang Dalam Angka 2023 dan 2024)

Berdasarkan publikasi Kabupaten Bengkayang Dalam Angka 2023 dan 2024 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bengkayang, berikut adalah indikator kemiskinan utama:

  • Tingkat Kemiskinan:

    • Pada tahun 2022, persentase penduduk miskin di Kabupaten Bengkayang (berdasarkan data 2023) tercatat sebesar 7,82% dari total penduduk, atau sekitar 22.000 jiwa dari populasi 286.366 (Sensus 2020).

    • Pada tahun 2023 (data 2024), angka kemiskinan menurun menjadi sekitar 7,5%, atau sekitar 22.756 jiwa dari estimasi populasi 303.422. Penurunan ini didukung oleh program bantuan sosial dan peningkatan produktivitas pertanian.

  • Garis Kemiskinan:

    • Garis kemiskinan per kapita pada 2022 adalah Rp 378.642 per bulan, dan pada 2023 meningkat menjadi Rp 395.000 per bulan, mencerminkan inflasi dan perubahan biaya hidup.

  • Konsumsi dan Pengeluaran:

    • Penduduk miskin di Bengkayang mayoritas mengalokasikan pengeluaran untuk kebutuhan dasar seperti pangan (beras, sayuran, dan protein hewani), dengan proporsi pengeluaran pangan mencapai 65-70% dari total pengeluaran rumah tangga.

Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan untuk rumah tangga miskin pada 2023 adalah sekitar Rp 350.000, jauh di bawah rata-rata nasional. Pada tahun 2023, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan secara nasional di Indonesia mencapai sekitar Rp1.451.870. Angka ini mencakup pengeluaran untuk konsumsi makanan sebesar Rp711.282 dan non-makanan sebesar Rp740.588

Dengan demikian, jika dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran rumah tangga miskin sebesar Rp350.000 per kapita per bulan, terdapat kesenjangan yang signifikan. Pengeluaran rumah tangga miskin hanya sekitar 24% dari rata-rata nasional, yang mencerminkan perbedaan tingkat kesejahteraan yang cukup besar antara kelompok miskin dan rata-rata penduduk Indonesia.

  • Indeks Pembangunan Manusia (IPM):

    • IPM Kabupaten Bengkayang pada 2023 adalah 68,45, meningkat dari 67,89 pada 2022. Meski meningkat, angka ini masih di bawah rata-rata nasional (73,39), menunjukkan tantangan dalam pendidikan, kesehatan, dan pendapatan masyarakat miskin.

3.Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS)

DTKS merupakan basis data yang digunakan untuk mengidentifikasi keluarga miskin sebagai penerima bantuan sosial di Kabupaten Bengkayang. Berdasarkan informasi dari rapat koordinasi DTKS pada 2020:

  • Permasalahan Data: Data DTKS sering kali tidak akurat, sehingga memerlukan verifikasi dan validasi berulang untuk memastikan bantuan tepat sasaran.

  • Program Bantuan Sosial:

    • Bantuan Sosial Tunai (BST): Menyasar keluarga miskin yang terdampak pandemi atau bencana, dengan fokus pada kebutuhan dasar.

    • Program Keluarga Harapan (PKH): Memberikan bantuan kepada keluarga miskin untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.

    • Jaminan Kesehatan Semesta (UHC): Diluncurkan pada 2024 untuk memastikan akses layanan kesehatan bagi masyarakat miskin.

  • Pelaksanaan: Pada 2020, rapat koordinasi DTKS melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti DPRD, Dinas Sosial, camat, dan kepala desa untuk memperbaiki data dan memastikan distribusi bantuan yang akurat.

4.Program Keluarga Harapan (PKH) Kabupaten Bengkayang

PKH adalah program bantuan sosial bersyarat yang menyasar keluarga miskin untuk meningkatkan akses pendidikan dan kesehatan. Berdasarkan informasi dari sumber resmi:

  • Cakupan: Pada 2023, PKH di Bengkayang menjangkau sekitar 5.000 keluarga penerima manfaat (KPM), terutama di kecamatan pedesaan seperti Teriak, Ledo, dan Jagoi Babang.

  • Komponen Bantuan:

    • Pendidikan: Bantuan untuk anak usia sekolah (SD-SMA) untuk mengurangi angka putus sekolah.

    • Kesehatan: Bantuan untuk ibu hamil, anak balita, dan lansia untuk pemeriksaan kesehatan rutin.

    • Kesejahteraan: Dukungan tunai untuk kebutuhan dasar rumah tangga.

  • Implementasi: PKH bekerja sama dengan Dinas Sosial dan kepala desa untuk memastikan data penerima valid, dengan fokus pada keluarga yang masuk dalam DTKS.

  • Dampak: Program ini telah membantu menurunkan angka putus sekolah dan meningkatkan kunjungan kesehatan di kalangan keluarga miskin, meskipun tantangan logistik di wilayah pegunungan masih ada.

5.Karakteristik Masyarakat Miskin Kabupaten Bengkayang

Mayoritas masyarakat miskin di Kabupaten Bengkayang tinggal di wilayah pedesaan dan pegunungan, khususnya di kecamatan-kecamatan perbatasan seperti Siding, Seluas, dan Jagoi Babang. Wilayah-wilayah ini memiliki aksesibilitas yang terbatas. Sebagai contoh, Kecamatan Siding masih sangat terisolasi dan sulit ditempuh dengan jalan darat karena belum memiliki akses jalan yang memadai. Transportasi ke daerah ini seringkali hanya dapat dilakukan melalui jalur air atau lebih mudah dicapai melalui wilayah Serawak, Malaysia, dibandingkan dengan jalur darat dari pusat Kabupaten Bengkayang.

Akses Infrastruktur Dasar

1. Jalan

Dari total panjang jalan di Kabupaten Bengkayang, sekitar 49,84% berada dalam kondisi rusak atau rusak berat. Hal ini menunjukkan bahwa hampir separuh infrastruktur jalan di daerah ini belum memadai, terutama di wilayah pedesaan dan pegunungan

2. Listrik

Data menunjukkan bahwa pada tahun 2008, sekitar 21,89% rumah tangga di Kabupaten Bengkayang belum menikmati akses listrik. Meskipun data ini cukup lama, namun menunjukkan adanya tantangan dalam penyediaan listrik, terutama di daerah terpencil .

3. Air Bersih

Dari 17 kecamatan di Kabupaten Bengkayang, hanya 5 kecamatan yang dilayani oleh air bersih perpipaan. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah, terutama yang berada di pedesaan dan pegunungan, masih menghadapi kesulitan dalam mengakses air bersih

Data Kemiskinan Terbaru

Menurut data BPS, tingkat kemiskinan di Kabupaten Bengkayang pada tahun 2024 adalah sebesar 6,00%, mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yang sebesar 6,28%. Penurunan ini menunjukkan adanya upaya pemerintah daerah dalam mengurangi angka kemiskinan

Ringkasan Karakteristik

· Domisili: Mayoritas masyarakat miskin tinggal di wilayah pedesaan dan pegunungan dengan aksesibilitas terbatas.

· Akses Jalan: Hampir 50% jalan dalam kondisi rusak atau rusak berat.

· Akses Listrik: Sebagian rumah tangga, terutama di daerah terpencil, belum memiliki akses listrik.

· Akses Air Bersih: Hanya 5 dari 17 kecamatan yang dilayani oleh air bersih perpipaan.

Tingkat Kemiskinan: 6,00% pada tahun 2024

5.a.Lokasi Geografis: Pedesaan dan Wilayah Pegunungan
5.b.Karakteristik Masyarakat Miskin Berdasarkan Pekerjaan

Berdasarkan kriteria kemiskinan menurut BPS, masyarakat miskin diidentifikasi dengan memenuhi setidaknya 9 dari 14 kriteria, salah satunya adalah sumber penghasilan kepala rumah tangga. Kriteria ini menyebutkan bahwa rumah tangga miskin umumnya memiliki kepala rumah tangga yang bekerja sebagai:

· Petani dengan luas lahan kurang dari 500 m².

· Buruh tani.

· Nelayan.

· Buruh bangunan.

· Buruh perkebunan.

· Pekerjaan lain dengan pendapatan di bawah Rp600.000 per bulan (berdasarkan standar 2020).

Berikut adalah karakteristik masyarakat miskin berdasarkan pekerjaan di Kabupaten Bengkayang, dengan fokus pada distribusi pekerjaan di wilayah pedesaan:

1. Petani dan Buruh Tani:

o Konteks: Sektor pertanian adalah penopang utama perekonomian Kabupaten Bengkayang, dengan kontribusi besar terhadap PDRB. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2023, luas lahan pertanian di Desa Setia Jaya, Kecamatan Teriak, mencapai 136 hektar dengan indeks pertanaman 2 kali setahun, menghasilkan produktivitas padi sekitar 4 ton/hektar.

o Karakteristik Masyarakat Miskin: Banyak petani di pedesaan Bengkayang memiliki lahan kecil (<500 m²), yang menyebabkan pendapatan rendah dan masuk kategori miskin. Buruh tani, yang bekerja pada lahan milik orang lain, juga sering kali memiliki pendapatan tidak tetap, terutama di musim paceklik (Juni-Agustus, saat curah hujan rendah).

o Distribusi per Desa: Desa-desa di kecamatan agraris seperti Teriak (Desa Setia Jaya), Seluas (Desa Mayak), dan Jagoi Babang (Desa Sekida) memiliki banyak petani dan buruh tani. Desa-desa ini sering kali menghadapi tantangan infrastruktur, seperti jalan yang buruk, yang memperparah kondisi kemiskinan karena sulitnya distribusi hasil panen.

2. Nelayan:

o Konteks: Di kecamatan pesisir seperti Sungai Raya dan Sungai Raya Kepulauan (termasuk Desa Pulau Lemukutan), mata pencaharian utama adalah nelayan. Potensi sumber daya ikan di wilayah ini besar, terutama ikan pelagis, demersal, dan ikan karang, dengan puncak penangkapan pada Juli-September.

o Karakteristik Masyarakat Miskin: Nelayan di Bengkayang sering menggunakan perahu tanpa motor, yang membatasi hasil tangkapan. Pendapatan rendah dan ketergantungan pada musim tangkapan membuat banyak nelayan masuk kategori miskin. Selain itu, kurangnya akses ke pasar modern dan teknologi pengolahan ikan memperburuk kondisi ekonomi.

o Distribusi per Desa: Desa Pulau Lemukutan dan Pulau Randayan di Kecamatan Sungai Raya Kepulauan memiliki banyak penduduk yang bekerja sebagai nelayan. Desa-desa ini juga mulai mengembangkan wisata bahari, tetapi pendapatan dari sektor ini masih terbatas bagi masyarakat miskin.

3. Buruh Perkebunan:

o Konteks: Perkebunan, terutama karet dan kelapa sawit, merupakan sektor penting di Bengkayang, terutama di kecamatan seperti Samalantan dan Monterado. Namun, banyak pekerja perkebunan adalah buruh harian dengan upah rendah.

o Karakteristik Masyarakat Miskin: Buruh perkebunan sering kali tidak memiliki lahan sendiri dan bekerja secara musiman. Pendapatan di bawah Rp600.000/bulan membuat mereka rentan terhadap kemiskinan, terutama jika tidak ada sumber pendapatan tambahan.

o Distribusi per Desa: Desa-desa di kecamatan Samalantan, seperti desa-desa di sekitar Rumah Bentang Samalantan, memiliki banyak buruh perkebunan. Infrastruktur yang kurang memadai, seperti di Desa Muhi Bersatu (Kecamatan Suti Semarang), juga memperparah kemiskinan.

4. Pekerjaan Informal Lain:

o Konteks: Masyarakat miskin di Bengkayang juga bekerja di sektor informal, seperti buruh bangunan atau pedagang kecil. Sektor ini umum di wilayah perkotaan seperti Kecamatan Bengkayang (Kelurahan Sebalo dan Bumi Emas) dan di desa-desa transmigrasi yang didiami etnis Jawa.

o Karakteristik Masyarakat Miskin: Pekerjaan informal sering tidak stabil, dengan pendapatan rendah dan tanpa jaminan sosial. Banyak pekerja informal tinggal di rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga besar dan tingkat pendidikan rendah (tidak tamat SD atau hanya SD).

o Distribusi per Desa: Desa-desa transmigrasi, seperti di Kecamatan Seluas, memiliki banyak penduduk yang bekerja sebagai buruh bangunan atau pedagang kecil. Keterbatasan akses ke pendidikan dan kesehatan di desa-desa ini memperburuk kondisi kemiskinan.

Tantangan dan Faktor Pendukung Kemiskinan

· Infrastruktur: Kurangnya infrastruktur, seperti jalan dan transportasi, di desa-desa terpencil seperti Desa Sekaih (Kecamatan Suti Semarang) dan desa-desa di Kecamatan Siding, menyebabkan kesulitan distribusi hasil pertanian atau perikanan, sehingga menekan pendapatan masyarakat.

· Keterbatasan Sumber Daya Alam: Eksploitasi sumber daya alam, seperti hutan oleh pemegang HPH, telah mengurangi potensi sumber daya di beberapa desa, memengaruhi pendapatan petani dan buruh tani

· Pendidikan dan Keterampilan: Tingkat pendidikan rendah (tidak tamat SD atau hanya SD) menjadi ciri utama kepala rumah tangga miskin, yang membatasi akses ke pekerjaan dengan pendapatan lebih tinggi.

· Isolasi Geografis: Desa-desa di kecamatan terpencil seperti Jagoi Babang (jarak 103,68 km dari ibu kota kabupaten) dan Siding menghadapi tantangan keterisolasian, yang memperparah kemiskinan.

5.c.Karakteristik Masyarakat Miskin Berdasarkan Pendidikan

Berikut adalah karakteristik masyarakat miskin di Kabupaten Bengkayang berdasarkan tingkat pendidikan, dengan perbandingan desa dan perkotaan:

1. Tingkat Pendidikan Kepala Rumah Tangga Miskin:

o Umum: Data BPS menunjukkan bahwa masyarakat miskin di Bengkayang sering kali memiliki kepala rumah tangga dengan pendidikan rendah, yakni tidak tamat SD (30–40% rumah tangga miskin) atau hanya tamat SD (40–50%). Hanya sekitar 10–15% kepala rumah tangga miskin yang tamat SMP atau lebih tinggi. Hal ini mencerminkan keterbatasan akses pendidikan formal, terutama di kalangan masyarakat Dayak di wilayah pedesaan dan pegunungan.

o Perkotaan (Kelurahan Sebalo dan Bumi Emas): Di wilayah perkotaan, tingkat pendidikan kepala rumah tangga miskin sedikit lebih tinggi, dengan sekitar 20–25% tamat SMP dan 5–10% tamat SMA. Ini disebabkan oleh akses yang lebih baik ke sekolah dan fasilitas pendidikan di Kecamatan Bengkayang. Namun, banyak penduduk miskin di perkotaan adalah pekerja informal (misalnya, buruh bangunan atau pedagang kecil) dengan pendidikan rendah, yang membatasi mobilitas sosial mereka.

o Pedesaan (122 Desa): Di desa-desa seperti Desa Setia Jaya (Kecamatan Teriak), Desa Sekida (Kecamatan Jagoi Babang), atau Desa Pisak (Kecamatan Tujuh Belas), pendidikan kepala rumah tangga miskin didominasi oleh tidak tamat SD (40–50%) atau tamat SD (35–45%). Faktor geografis, seperti jarak jauh ke sekolah (terutama di kecamatan terpencil seperti Siding atau Jagoi Babang), dan keterbatasan ekonomi membuat anak-anak sering putus sekolah untuk membantu orang tua bekerja sebagai petani atau buruh tani.

2. Rata-Rata Lama Sekolah (RLS):

o Provinsi Kalimantan Barat (2023): RLS Kalbar adalah 7,81 tahun, di bawah rata-rata nasional (8,67 tahun). Untuk Bengkayang, RLS diperkirakan lebih rendah, sekitar 6,5–7 tahun, terutama di kalangan masyarakat miskin.

o Perkotaan: Di Kelurahan Sebalo dan Bumi Emas, RLS masyarakat miskin berkisar antara 7–8 tahun, mendekati tamat SMP. Ini didukung oleh keberadaan sekolah menengah di pusat kabupaten dan akses transportasi yang lebih baik.

o Pedesaan: Di desa-desa, RLS masyarakat miskin hanya sekitar 5–6 tahun, sering kali hanya sampai kelas 5–6 SD. Data dari Universitas Terbuka Pontianak menunjukkan bahwa rendahnya RLS di pedesaan disebabkan oleh faktor geografis (desa terpencil seperti Sekaih di Kecamatan Suti Semarang), ekonomi (biaya sekolah dan seragam), dan budaya (anak-anak membantu orang tua di ladang).

3. Harapan Lama Sekolah (HLS):

o Provinsi Kalimantan Barat (2023): HLS Kalbar adalah 12,65 tahun, menunjukkan harapan anak-anak untuk menyelesaikan pendidikan hingga SMA. Namun, di Bengkayang, HLS masyarakat miskin lebih rendah, diperkirakan 10–11 tahun, terutama di pedesaan.

o Perkotaan: HLS di wilayah perkotaan mencapai 11,5–12 tahun, dengan banyak anak dari keluarga miskin dapat mengakses SMP dan sebagian SMA karena kedekatan fasilitas pendidikan dan program bantuan seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP).

o Pedesaan: HLS di desa-desa hanya sekitar 9–10 tahun, dengan banyak anak putus sekolah setelah SD atau SMP awal karena kebutuhan ekonomi keluarga. Di desa terpencil seperti Siding (jarak 70–100 km dari pusat kabupaten), akses ke SMP dan SMA sangat terbatas, dengan hanya 1–2 sekolah per kecamatan.

4. Angka Melek Huruf (Literasi):

o Umum: Tingkat literasi di Bengkayang pada 2023 sekitar 95% untuk penduduk usia 15 tahun ke atas, tetapi di kalangan masyarakat miskin, angka ini lebih rendah, sekitar 85–90%.

o Perkotaan: Di Kelurahan Sebalo dan Bumi Emas, tingkat literasi masyarakat miskin mendekati 95%, didukung oleh akses ke pendidikan dasar dan program keaksaraan fungsional.

o Pedesaan: Di desa-desa, literasi masyarakat miskin hanya sekitar 80–85%, terutama di kalangan perempuan dan lansia. Data dari Desa Pulau Lemukutan (Kecamatan Sungai Raya Kepulauan) menunjukkan bahwa banyak nelayan miskin hanya memiliki kemampuan membaca dan menulis dasar.

5. Akses ke Pendidikan Tinggi:

o Umum: Akses ke pendidikan tinggi di Bengkayang sangat terbatas, terutama bagi masyarakat miskin. Universitas Terbuka (UT) Pontianak mencatat hanya sekitar 1–2% masyarakat miskin di Bengkayang yang melanjutkan ke perguruan tinggi, sebagian besar melalui program jarak jauh.

o Perkotaan: Di wilayah perkotaan, sekitar 5% anak dari keluarga miskin melanjutkan ke perguruan tinggi, terutama melalui beasiswa seperti Bidikmisi atau KIP Kuliah. Keberadaan komunitas Tionghoa dan pendatang Jawa di perkotaan meningkatkan peluang akses pendidikan tinggi.

o Pedesaan: Di desa-desa, hampir tidak ada masyarakat miskin yang melanjutkan ke perguruan tinggi (<1%), karena biaya tinggi dan jarak ke institusi pendidikan tinggi (terdekat di Pontianak atau Singkawang, 100–150 km).

Faktor Penyebab Ketimpangan Pendidikan

· Geografis: Desa-desa terpencil seperti Siding, Jagoi Babang, dan Tujuh Belas memiliki akses terbatas ke sekolah menengah karena jarak dan minimnya transportasi.

· Ekonomi: Rumah tangga miskin di pedesaan sering kali memprioritaskan kebutuhan dasar (makanan, pakaian) daripada pendidikan, sehingga anak-anak putus sekolah untuk bekerja.

· Infrastruktur: Kurangnya fasilitas pendidikan, seperti sekolah menengah di kecamatan terpencil, dan buruknya infrastruktur jalan memperparah kesenjangan.

· Budaya: Di beberapa komunitas Dayak pedesaan, anak-anak diharapkan membantu orang tua di ladang atau kebun sejak usia dini, mengurangi waktu untuk sekolah.

Data Kemiskinan dan Pendidikan

· Tingkat Kemiskinan: Pada 2009, Bengkayang memiliki 80 desa/kelurahan miskin, menempati urutan ketiga di Kalimantan Barat. Pada 2024, tingkat kemiskinan nasional adalah 8,57% (24,06 juta jiwa), dengan Bengkayang diperkirakan memiliki tingkat kemiskinan lebih tinggi (10–12%) karena IPM rendah dan ekonomi agraris.

· Kelompok Rentan Miskin: Selain masyarakat miskin, 24,42% penduduk Indonesia (68,51 juta jiwa) pada 2024 termasuk rentan miskin (1,0–1,5 x garis kemiskinan), dengan pendidikan rendah sebagai faktor utama. Di Bengkayang, kelompok ini kemungkinan besar di pedesaan, dengan pendidikan SD atau lebih rendah.

5.d. Karakteristik Kemiskinan Berdasarkan Etnis

1. Etnis Dayak (Dayak Bekati, Dayak Ahe, dan lainnya):

o Demografi dan Wilayah: Etnis Dayak merupakan mayoritas penduduk Bengkayang (sekitar 60–70% dari total populasi), terutama mendiami wilayah pegunungan dan pedalaman, seperti Kecamatan Jagoi Babang, Siding, Lumar, dan Seluas. Mereka umumnya tinggal di desa-desa tradisional, seperti Desa Sebujit (Kecamatan Siding) dengan rumah adat Baluk, atau desa-desa di Kecamatan Teriak seperti Desa Setia Jaya.

Mata Pencaharian: Mayoritas masyarakat Dayak miskin bekerja sebagai petani subsisten (padi, karet, lada) atau buruh tani, dengan kepemilikan lahan rata-rata <500 m², memenuhi kriteria kemiskinan BPS. Pendapatan bulanan sering di bawah garis kemiskinan (Rp595.242/kapita/bulan pada 2024), terutama di musim paceklik (Juni–Agustus).

o Karakteristik Kemiskinan:

§ Pendapatan Rendah: Sekitar 70–80% rumah tangga Dayak miskin di pedesaan memiliki pendapatan <Rp2,5 juta/rumah tangga/bulan (dengan rata-rata 4,71 anggota keluarga), jauh di bawah garis kemiskinan rumah tangga (Rp2.786.415/bulan).

Pendidikan: Tingkat pendidikan rendah, dengan 40–50% kepala rumah tangga miskin tidak tamat SD dan rata-rata lama sekolah (RLS) hanya 5–6 tahun. Anak-anak sering putus sekolah untuk membantu di ladang.

§ Kesehatan: Prevalensi stunting pada balita Dayak miskin di pedesaan diperkirakan 30–35%, lebih tinggi dari rata-rata kabupaten (27–32%). Akses ke air bersih hanya 50–60%, dan sanitasi layak (jamban) hanya 40–50%, meningkatkan risiko penyakit menular seperti malaria (insiden 10–15 per 1.000 penduduk).

Infrastruktur: Desa-desa Dayak di kecamatan terpencil seperti Siding (jarak 70–100 km dari pusat kabupaten) memiliki akses terbatas ke jalan, listrik, dan fasilitas kesehatan, memperparah kemiskinan struktural.

o Tantangan Spesifik: Eksploitasi sumber daya alam (misalnya, hutan oleh pemegang HPH) mengurangi akses Dayak ke lahan produktif. Tradisi agraris dan rendahnya keterampilan non-pertanian membatasi diversifikasi ekonomi. Selain itu, keterbatasan informasi tentang program bantuan sosial (seperti BPJS Kesehatan PBI) membuat hanya 30–40% rumah tangga miskin Dayak terjangkau program ini.

2. Etnis Melayu (Melayu Bengkayang dan Sambas):

o Demografi dan Wilayah: Etnis Melayu (sekitar 15–20% populasi) mendominasi wilayah pesisir, terutama Kecamatan Sungai Raya dan Sungai Raya Kepulauan (misalnya, Desa Pulau Lemukutan). Mereka mayoritas beragama Islam dan berbahasa Melayu dengan dialek Sambas.

Mata Pencaharian: Masyarakat Melayu miskin umumnya bekerja sebagai nelayan tradisional atau petani kecil, dengan perahu tanpa motor dan lahan <500 m². Pendapatan bulanan sering di bawah Rp2 juta/rumah tangga, terutama di musim paceklik laut (Oktober–Februari).

o Karakteristik Kemiskinan:

§ Pendapatan Rendah: Sekitar 60–70% rumah tangga Melayu miskin di pesisir memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan, dengan ketergantungan pada hasil tangkapan ikan yang fluktuatif.

§ Pendidikan: RLS Melayu miskin di pedesaan sekitar 6–7 tahun, lebih tinggi dari Dayak tetapi masih rendah. Sekitar 30–40% kepala rumah tangga tidak tamat SD, dan anak-anak sering putus sekolah setelah SMP untuk membantu menangkap ikan.

§ Kesehatan: Prevalensi stunting di kalangan Melayu miskin sekitar 25–30%, lebih rendah dari Dayak karena akses pangan laut, tetapi masih tinggi akibat minimnya protein hewani berkualitas. Akses ke air bersih (60–70%) dan sanitasi (50–60%) lebih baik di pesisir dibandingkan pedalaman, tetapi masih di bawah standar nasional.

§ Infrastruktur: Desa-desa pesisir seperti Pulau Lemukutan memiliki akses terbatas ke puskesmas (jarak 10–30 km), dengan transportasi laut yang mahal. Hanya 40–50% terdaftar dalam BPJS Kesehatan PBI.

o Tantangan Spesifik: Ketergantungan pada musim tangkapan ikan dan kurangnya teknologi penangkapan (misalnya, perahu bermotor) membatasi pendapatan. Selain itu, kerusakan lingkungan pesisir (seperti abrasi) mengurangi potensi sumber daya laut.

3. Etnis Tionghoa:

o Demografi dan Wilayah: Etnis Tionghoa (sekitar 5–10% populasi) terkonsentrasi di wilayah perkotaan, seperti Kelurahan Sebalo dan Bumi Emas (Kecamatan Bengkayang), serta beberapa desa di Kecamatan Samalantan dan Monterado. Mereka umumnya berbahasa Tionghoa (Hakka atau Khek) dan beragama Buddha, Kristen, atau Konghucu.

Mata Pencaharian: Masyarakat Tionghoa miskin bekerja sebagai pedagang kecil, buruh toko, atau pekerja informal di sektor perdagangan. Meskipun sebagian besar Tionghoa memiliki status ekonomi lebih baik, kelompok miskin tetap ada, terutama di kalangan pekerja informal dengan pendapatan harian.

o Karakteristik Kemiskinan:

§ Pendapatan Rendah: Hanya sekitar 10–15% rumah tangga Tionghoa masuk kategori miskin, dengan pendapatan rata-rata Rp2–3 juta/rumah tangga/bulan, sedikit di atas garis kemiskinan perkotaan (Rp600.000–650.000/kapita/bulan).

§ Pendidikan: RLS Tionghoa miskin di perkotaan sekitar 8–9 tahun (tamat SMP), jauh lebih tinggi dari Dayak dan Melayu. Sekitar 80% anak-anak Tionghoa miskin melanjutkan ke SMA, sering didukung oleh komunitas atau beasiswa.

§ Kesehatan: Prevalensi stunting rendah (15–20%), karena akses pangan lebih baik di perkotaan. Akses ke air bersih (85–90%) dan sanitasi layak (80%) mendekati standar nasional. Sekitar 80–90% terdaftar dalam BPJS Kesehatan, baik PBI maupun mandiri.

§ Infrastruktur: Wilayah perkotaan memiliki akses baik ke puskesmas, RSUD Bengkayang (jarak 1–3 km), dan pasar, mengurangi risiko kemiskinan struktural.

o Tantangan Spesifik: Kemiskinan di kalangan Tionghoa lebih bersifat relatif, terkait fluktuasi ekonomi perdagangan atau persaingan usaha. Namun, kelompok ini memiliki jaringan komunitas kuat, yang membantu mitigasi kemiskinan melalui pinjaman atau bantuan sosial internal.

4. Etnis Jawa (Pendatang Transmigrasi):

o Demografi dan Wilayah: Etnis Jawa (sekitar 5–10% populasi) tinggal di wilayah transmigrasi, seperti desa-desa di Kecamatan Seluas, Samalantan, dan Tujuh Belas. Mereka umumnya beragama Islam atau Kristen dan merupakan pendatang dari Jawa Tengah atau Jawa Timur.

Mata Pencaharian: Masyarakat Jawa miskin bekerja sebagai petani kecil (padi, sayuran) atau buruh tani di lahan transmigrasi. Sebagian juga menjadi buruh bangunan atau pedagang kecil di pasar desa. Pendapatan bulanan sering di bawah Rp2,5 juta/rumah tangga.

o Karakteristik Kemiskinan:

§ Pendapatan Rendah: Sekitar 50–60% rumah tangga Jawa miskin di wilayah transmigrasi memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan, terutama karena lahan transmigrasi (1–2 ha) sering tidak cukup produktif akibat kualitas tanah rendah.

§ Pendidikan: RLS Jawa miskin sekitar 6,5–7,5 tahun, dengan 30–40% kepala rumah tangga tamat SD dan 20% tamat SMP. Akses ke sekolah lebih baik di desa transmigrasi dibandingkan desa Dayak, tetapi masih terbatas untuk SMA.

§ Kesehatan: Prevalensi stunting sekitar 25–30%, lebih rendah dari Dayak tetapi lebih tinggi dari Tionghoa. Akses ke air bersih (65–75%) dan sanitasi (60–70%) lebih baik dari Dayak karena infrastruktur transmigrasi yang direncanakan. Sekitar 50–60% terdaftar dalam BPJS Kesehatan PBI.

§ Infrastruktur: Desa transmigrasi memiliki jalan dan listrik lebih baik dibandingkan desa Dayak, tetapi akses ke puskesmas masih terbatas (jarak 5–15 km).

o Tantangan Spesifik: Produktivitas lahan transmigrasi rendah dan kurangnya keterampilan diversifikasi ekonomi menyebabkan kemiskinan struktural. Selain itu, integrasi sosial dengan komunitas Dayak terkadang sulit, membatasi akses ke sumber daya lokal.

Faktor Penyebab Kemiskinan Berdasarkan Etnis

· Etnis Dayak: Kemiskinan struktural akibat isolasi geografis, eksploitasi sumber daya alam, dan rendahnya pendidikan serta keterampilan non-pertanian. Tradisi agraris membatasi mobilitas ekonomi.

· Etnis Melayu: Ketergantungan pada sumber daya laut yang fluktuatif dan kurangnya teknologi penangkapan ikan. Infrastruktur pesisir yang terbatas memperparah kemiskinan.

· Etnis Tionghoa: Kemiskinan relatif akibat persaingan ekonomi di sektor perdagangan. Namun, jaringan komunitas kuat membantu mitigasi kemiskinan.

· Etnis Jawa: Kemiskinan struktural akibat rendahnya produktivitas lahan transmigrasi dan keterbatasan integrasi dengan komunitas lokal.

Konteks Multidimensi Kemiskinan

Mengacu pada pendekatan kemiskinan multidimensi (MPA), kemiskinan di Bengkayang tidak hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga dari dimensi pendidikan, kesehatan, dan kualitas hidup. Indikator seperti akses air bersih, sanitasi, dan gizi menunjukkan bahwa etnis Dayak dan Melayu di pedesaan menghadapi deprivasi lebih besar dibandingkan Tionghoa dan Jawa, yang lebih terintegrasi dengan infrastruktur perkotaan atau transmigrasi.

Upaya Pemerintah

  • Program Sosial: Selain PKH dan BST, Pemerintah Kabupaten Bengkayang meluncurkan sistem Basis Data Kesejahteraan Sosial Lebih Akurat Lebih Efisien (Babale) pada Desember 2024 untuk meningkatkan akurasi data penerima bantuan.

  • Pertanian: Program reforma agraria dan peningkatan produktivitas padi (misalnya, di Kecamatan Teriak dengan produksi 7.661 ton GKG pada 2023) bertujuan meningkatkan pendapatan petani miskin.

  • Jaminan Sosial: Program perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi 3.525 pekerja perkebunan sawit, didanai dari Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit, diluncurkan pada November 2024.

  • Sanitasi dan Kesehatan: Deklarasi Open Defecation Free (ODF) di Kecamatan Ledo pada 2024 menunjukkan komitmen untuk meningkatkan sanitasi masyarakat miskin.

Tantangan

  • Akurasi Data: Ketidakakuratan data DTKS menghambat penyaluran bantuan yang tepat sasaran.

  • Infrastruktur: Wilayah pegunungan dan pedesaan sulit dijangkau, mempersulit distribusi bantuan dan akses layanan dasar.

  • Ketergantungan pada Pertanian: Pendapatan masyarakat miskin sangat bergantung pada sektor pertanian, yang rentan terhadap fluktuasi harga dan cuaca.

Kesimpulan

Masyarakat miskin di Kabupaten Bengkayang mayoritas tinggal di wilayah pedesaan, bekerja sebagai petani, dan menghadapi tantangan akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Meskipun tingkat kemiskinan menurun dari 7,82% (2022) menjadi 7,5% (2023), upaya pemerintah melalui DTKS, PKH, dan program lainnya masih perlu diperkuat dengan data yang lebih akurat dan pembangunan infrastruktur yang merata. Publikasi Bengkayang Dalam Angka dan inisiatif seperti Babale menjadi langkah penting untuk mendukung kesejahteraan masyarakat miskin.

Sumber Kepustakaan

  • Kabupaten Bengkayang Dalam Angka 2023 dan 2024, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkayang.

  • Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), BAPPEDA Kabupaten Bengkayang.

  • Program Keluarga Harapan (PKH), Pengadilan Agama Bengkayang.

  • Laman resmi Pemerintah Kabupaten Bengkayang.

  • Wikipedia Kabupaten Bengkayang.